
Bulan mengintip malu dicelah dedaunan,
meski malam semakin pekat, sketsa wajahmu masih terang dalam ingatanku.
Tenanglah, sebentar lagi lukisan wajahmu akan sempurna.
* * *
Purnama
kesekian telah lahir. Dan seperti biasa, tak kan kubiarakan malam ini
terlewatkan tanpa hadirmu. Telah kutitipkan salamku pada seorang santri putri sore
tadi. Saat senja mulai memerah dan maghrib berkumandang, kuyakin kau telah
menerimanya. Bisa kubayangkan wajahmu yang bersemu kemerahan atau sepasang
lesung pipit yang tenggelam dikedua pipimu saat kau tersenyum girang menyambut
salamku. Kau benar-benar telah mengkristal dan menyatu dalam memoriku.
Aku melangkah tegas kebelakang teras
mesjid usai isya’ kutunaikan. Masih sama seperti sebelumnya,lengang dan
hanya wangi melati yang menemaniku mematung disini. Sembari menunggumu muncul
dari bilik malam, kuhitung satu persatu bunga melati yang berhias indah disudut
bangku taman belakang mesjid. Daun-daunnya ada yang menjuntai keatas membentuk
pagar, ada sebagian kuncup melati pula yang ikut bertengger disana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar