Juni 28, 2011

Sajak AkuMu

kamu bilang Ya, ketika aku mengatakan tidak
kamu bilang mau ketika aku menolak
kamu bilang semua tapi aku hanya


kamu, muka, kamu akum, akumu, akuku
ahhh...
kita begitu rumit

Juni 27, 2011

Tentangmu yang Kembali dalam Ingatan


Sekarang aku ingin memanggilnya dengan sebutan “Mu...”.  Nama tengah yang sengaja aku ambil dari nama panjangnya. Semoga dia berkenan. Tepatnya tujuh tahun silam, aku tidak pernah melihat batang hidungnya sama sekali hingga aku menemukannya di situs jejaring sosial bernama “Blog”. Ya, aku kali pertama melihat mukanya setelah tujuh tahun lamanya, setelah usia kita sudah sama-sama menua, setelah jarak yang sangat jauh memisahkan kita, setelah aku tidak sadar kalau ternyata aku pernah punya teman seperti dia.  
Aku bingung mau aku mulai dari mana ceritanya. Cerita yang sengaja ingin aku buat khusus untuk mengingatnya saja. Mengingat “Mu” . Terkesan konyol dan tidak bisa dibilang mendramatisir. Karena aku bukan orang yang bisa mengubah keadaan menjadi sebuah lakon layaknya drama.
Sebenarnya aku bukan satu-satunya orang yang menjadi teman dekatnya, hanya saja aku yang diam-diam memujanya. Bahkan mengaguminya sebagai teman yang tak disangka-sangka akan keberadaannya yang seperti itu.
Di sebuah taman sekolah dasar tempat pertama kalinya aku mengenal huruf, pertama kalinya aku mengeja “a, b, c, dan d......” dengan tiga puluh sembilan orang lainnya. Disitu pula aku kenal dengan “Mu”. Sosok yang dulunya tidak terlalu akrab denganku, yang hanya bicara sekedarnya saja, yang ketika dikelas aku tidak pernah belajar bersama dengannya. Dan yang paling penting tidak terlalu menonjol dalam prestasi kelas tingkat satu sampai tiga. Karena aku tahu siapa saja orang-orang yang biasa menduduki prestasi satu sampai tiga itu. Tiga nama yang tidak pernah tergeser dengan deretan nama teman-temanku yang lain. Kecuali aku yang selalu berebut posisi ke empat hingga delapan, mungkin aku dan “Mu” salah satu penduduk yang terbiasa naik turun di posisi peringkat kelas ke empat sampai delapan pada waktu itu. Entahlah, aku juga tidak tahu pasti seberapa sering “Mu” berprestasi. Seingatku seperti itu.
“Mu” bertubuh mungil atau boleh dibilang tidak terlalu tinggi dibanding teman laki-laki yang lain. Aku, Mu dan satu lagi Mipta yang memang bertubuh kecil diantara tiga puluh tujuh orang lainnya. Tapi yang paling menyebalkan, akulah yang sering jadi bahan ledekan teman-teman karena tubuh pendek ku mewakili teman perempuanku yang lain. Tidak ada yang istimewa dari “Mu” , karena saking tidak tahunya aku tentang dirinya.

Juni 24, 2011

Tentangmu dan masa kita


     
Dingin menyapaku melalui celah bukit perawan. Keindahan lukisan putri tidur menyemai wajahmu disana. Ada rindu yang kupahat untuk satu senyummu yang kau tinggal saat kali pertama kau menyapaku disini. Hujan mewarnai pertemuan kita kala itu. aku hanya bisa memandangi mu lewat secarik kertas yang lusuh persis dengan bermacam-macam argumen dan segala bagai kritikan tentang ceritaku tahun lalu.
     Kedatanganmu yang tiba-tiba seolah membangunkanku dari mimpi. Bahkan aku sempat tak sadar kalau yang kujumpai adalah dirimu, yang dulu sempat melukis senyum lembut untukku di pesantren. Kau berhasil menyihirku kembali, membekukanku dalam tatap mata elangmu.
      Kau bawa aku dalam diskusi hangat tak berujung, dan seperti biasa kita tak kan pernah sependapat. Ternyata  kau  tak banyak berubah Rif. Kau masih Arif yang kukenal, yang selalu berusaha mematahkan segala pendapatku. Apalagi jika hal itu menyangkut perempuan, kau pasti akan mati-matian menyerangku dengan segala argumen yang menyudutkanku.
      

Juni 23, 2011

Bilangan Malam

     
  Aku masih setia menghitung menit disini, disudut serambi mesjid tempat biasa kita bertemu. Wangi melati masih setia menemaniku, setidaknya sebagai sahabat mengobrol yang asyik sambil menunggumu diawal malam. Ini sudah purnama ketujuh Rin, sejak kau menjelma menjadi kopi pada malam-malamku yang dingin. Entahlah, perpaduan antara warna bibir dan wajahmu selalu mampu menjadi bendera dalam upacara kesunyian hatiku.
      Kau membawa siang dalam malamku, dan mencipta matahari diawal pagiku. Ahh! Kau sudah datang rupanya. Samar-samar kulihat mungil tubuhmu dibawah purnama. Kau masih saja menunduk sambil terus berjalan dibawah purnama yang terus menyorotimu layaknya lampu sorot yang biasa kujumpai di tv-tv. Mungkin ia juga takut melewatkan secercah senyummu yang akan kau layangkan padaku. Kuyakin masih belum ada yang bisa menyaingi senyum seindah senyum yang selalu kau hadiahkan disetiap perjumpaan kita. Saat itu kurasakan dunia berhenti bernafas, karena kau mampu membius semuanya tanpa obat bius sekalipun.

       Malam semakin merangkak. Sinar purnama seolah menghilang seiring kepergianmu. Aku yakin malam ikut berduka melihatmu pergi meninggalkanku mematung disini. Akh! Entah kapan kita bisa berbincang lagi? 
       Bulan mengintip malu dicelah dedaunan, meski malam semakin pekat, sketsa wajahmu masih terang dalam ingatanku. Tenanglah, sebentar lagi lukisan wajahmu akan sempurna.