Juni 23, 2011

Bilangan Malam

     
  Aku masih setia menghitung menit disini, disudut serambi mesjid tempat biasa kita bertemu. Wangi melati masih setia menemaniku, setidaknya sebagai sahabat mengobrol yang asyik sambil menunggumu diawal malam. Ini sudah purnama ketujuh Rin, sejak kau menjelma menjadi kopi pada malam-malamku yang dingin. Entahlah, perpaduan antara warna bibir dan wajahmu selalu mampu menjadi bendera dalam upacara kesunyian hatiku.
      Kau membawa siang dalam malamku, dan mencipta matahari diawal pagiku. Ahh! Kau sudah datang rupanya. Samar-samar kulihat mungil tubuhmu dibawah purnama. Kau masih saja menunduk sambil terus berjalan dibawah purnama yang terus menyorotimu layaknya lampu sorot yang biasa kujumpai di tv-tv. Mungkin ia juga takut melewatkan secercah senyummu yang akan kau layangkan padaku. Kuyakin masih belum ada yang bisa menyaingi senyum seindah senyum yang selalu kau hadiahkan disetiap perjumpaan kita. Saat itu kurasakan dunia berhenti bernafas, karena kau mampu membius semuanya tanpa obat bius sekalipun.

       Malam semakin merangkak. Sinar purnama seolah menghilang seiring kepergianmu. Aku yakin malam ikut berduka melihatmu pergi meninggalkanku mematung disini. Akh! Entah kapan kita bisa berbincang lagi? 
       Bulan mengintip malu dicelah dedaunan, meski malam semakin pekat, sketsa wajahmu masih terang dalam ingatanku. Tenanglah, sebentar lagi lukisan wajahmu akan sempurna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar